Serunya Belajar di Negeri Es
Swedia? Hmm, pasti banyak yang tidak tahu tentang negara ini. Saking kurang terkenalnya, banyak orang yang menyamakan Swedia dengan Swiss. Walaupun letaknya masih sama-sama di benua Eropa, kedua negara ini sangat berbeda. Swedia merupakan salah satu negara anggota Uni Eropa yang terletak di bagian utara, berbatasan langsung dengan Norwegia, Finlandia dan Denmark. Swedia, bersama dengan dua negara tetangganya, Denmark dan Norwegia, mempunyai julukan “Scandinavian Countries”, yang secara geografis istilah Skandinavia ini merujuk pada Semenanjung Skandinavia. Seperti halnya negara Skandinavia lain, Swedia punya reputasi baik dalam hal kepuasan dan kebahagiaan penduduknya. Majalah bisnis Forbes pun menempatkan negara-negara Skandinavia ini dalam kategori “5 world’s happiest countries”, yang berarti Swedia masuk dalam 5 negara dengan tingkat kebahagiaan hidup paling tinggi di dunia.
Banyak hal yang berkaitan dengan Swedia sebenarnya cukup dikenal. Bagi penggemar bola, harusnya tahu dong denganZlatan Ibrahimović? pemain penyerang Manchester United ini dari Swedia loh. Atau mungkin nama yang satu ini lebih familiar, Maher Zain? Yup, penyanyi religi ini juga dari Swedia. Kalau bicara tentang industri, beberapa perusahaan ini cukup terkenal di dunia, sebut saja IKEA, H&M, Ericsson dan Volvo Car. Bagi para ilmuan atau penggiat kemanusiaan, harusnya tahu dong Penghargaan Nobel atau biasa disebut “Nobel Prize”?. Penghargaan tertinggi yang diberikan kepada mereka yang punya jasa luar biasa dalam bidang Fisika, Kimia, Sastra, Fisiologi/Kedokteran, Ekonomi, dan Perdamaian ini tiap tahun diadakan di Stockholm, ibukota Swedia. Yang terakhir nih bagi yang suka jalan-jalan, terutama pecinta alam, pasti pengen banget dong lihat “Aurora Borealis”? Kilauan cahaya yang didominasi warna hijau di langit ini bisa dinikmati di dekat kutup utara. Nah! menurut situs berita CNN, salah satu tempat terbaik untuk menyaksikan fenomena alam yang satu ini adalah Swedia, tepatnya di Abisko, perkampungan di bagian utara negara ini.
Well, sepertinya sudah cukup nih perkenalannya dengan negara ini. Nah, bagi kamu yang mau tau lebih jauh tentang keseruan hidup di Swedia: tentang cara bertahan hidup, sistem perkuliahan, atau menjadi minoritas muslim di Negeri Es ini, langsung aja simak tulisan saya di bawah ini! :D
Pengalaman Pertama Ke Luar Negeri
Jujur sebelum ke Swedia saya tidak punya pengalaman ke luar negeri, dan ini juga yang membuat saya khawatir. Kekhawatiran ini bukan hanya karena perjalanan saya ke negara ini akan jadi pengalaman pertama saya, tapi juga karena pada saat itu saya terbang sendiri dari Indonesia dengan waktu perjalanan lebih kurang 24 jam. Beberapa hari sebelum keberangkatan saya sempat berfikir bagaimana seandainya saya ketinggalan pesawat karena ketiduran atau keteledoran saya, bagaimana kalau saya tersesat, bagaimana proses pemeriksaan di bagian imigrasi nantinya, dan lain sebagainya. Ini tidak lain karena bandara internasional yang saya singgahi besarnya luar biasa ditambah tidak ada dari mereka yang berbahasa indonesia.
Singkat cerita, setelah menempuh perjalanan 24 jam dari Jakarta, pada tanggal 30 Agustus 2015 dini hari, saya mendarat dengan selamat di bandara Landvetter, Gothenburg, Swedia. Gothenburg merupakan kota yang akan menjadi tempat saya tinggal dan belajar. Saya cukup beruntung karena pada saat itu baru masuk musim gugur, sehingga ketika tiba di kota ini suhunya tidak terlalu dingin, sekitar 15Oo C.
Kuliah di Swedia
Sebenarnya saya harus datang seminggu lebih awal karena ada kegiatan “Welcoming Week” yang diadakan oleh pihak kampus. Namun sayang sekali saya melewatkan momen tersebut. Hal ini terjadi karena surat izin tinggal saya yang terlambat terbit, yang kemudian berdampak kejadwal kedatangan. Welcoming week dimulai satu minggu sebelum perkuliahan dimulai, dan dilanjutkan dengan hang out bareng sampai lebih kurang selama 5 minggu. Kegiatan ini bertujuan untuk menjalin keakraban mahasiswa lintas jurusan, belajar tentang budaya negara ini, sekaligus jalan-jalan keliling kampus dan kota Gothenburg. Semua didesain agar mahasiswa internasional bisa senang dan merasa nyaman untuk tinggal dan kuliah di sini. Jadi tidak ada sama sekali aktivitas perpeloncoan seperti di beberapa kampus di Indonesia.
Sistem informasi di kampus ini sudah sangat modern dan terintergrasi dengan baik. Interaksi dengan administrasi kampus sudah serba online, baik melalui email, sistem portal akademik maupun dengan mobile app “pingpong”. Di portal akademik, kami bisa melakukan registrasi, membuat perencanaan perkuliahan sampai mengakses transkrip nilai. “Pingpong” merupakan web yang juga berbentuk aplikasi sejenis portal mahasiswa dimana kami bisa mengakses silabus, tugas-tugas, bahan pembelajaran, mengirim tugas, sampai diskusi dengan dosen yang bersangkutan. Jadi, kapanpun dan dimanapun kita berada, selalu bisa update dengan perkuliahan hari itu juga. Silabus dan materi pembelajaran pun biasanya sudah bisa diakses dua minggu sebelum perkuliahan dimulai.
Fasilitas dan pelayanan di kampus ini juga sangat mendukung kegiatan belajar dan mengajar. Sebagian besar gedung kampus bisa diakses 24 jam penuh selama 7 hari. Ruang perkuliahan dirancang sedemikian rupa sehingga kegiatan belajar mengajar bisa berjalan dengan baik. Walaupun setiap ruang belajar dilengkapi proyektor, papan tulis dan kapur masih dipertahankan. Untuk belajar mandiri, hampir semua gedung dilengkapi puluhan ruang belajar kelompok, dapur, ruang makan, ruang komputer yang bisa digunakan kapan saja tanpa perlu minta izin. Akses bahan bacaan pun bisa sangat mudah dilakukan di web perpustakaan. Jurnal-jurnal kelas internasional gratis untuk diunduh, jumlah buku yang boleh dipinjam di perpustakaan pun tidak dibatasi dengan waktu peminjaman bisa sampai 6 bulan. Terlebih lagi, internet super cepat di seluruh area kampus bisa diakses tanpa batas, asik kan?
Swedia terkenal dengan negara yang minim hierarki. Salah satunya bisa dilihat dari hubungan antara dosen dan mahasiswa yang sangat akrab, seperti hubungan pertemanan. Dosen-dosen yang mengajar sangat terbuka dengan kritik sehingga kami jadi lebih leluasa untuk berdiskusi dan mengemukakan pendapat di ruang kelas. Tidak ada panggilan Mister atau prof disini, jadi yang ada hanya panggilan nama saja. Pernah suatu waktu saya ingin bertanya di kelas, namun saya masih bingung bagaimana cara memulai. Kemudian saya bertanya ke seorang teman di sebelah saya “If I want to start to ask, what should I call him? Mister or Prof?”, kemudian teman saya bilang “What? just call him with his name. Here, you don’t need to be polite!”. Saya masih ingat sekali kata-kata itu. Awalnya saya merasa seperti kurang sopan, tapi ya begitulah budaya di sini.
Selama saya kuliah disini, bisa dibilang sekarang saya jauh lebih bisa menghargai waktu, salah satunya dengan datang tepat waktu. Ini karena dosen maupun mahasiswa sangat disiplin terhadap waktu, bahkan di kegiatan informal sekalipun. Pengalaman selama satu tahun setengah kuliah, saya belum pernah sekalipun melihat dosen yang datang terlambat. Misalnya saja kuliah mulai jam 8 pagi, bukan berarti dosen datang jam segitu, melainkan itu adalah waktu dimana dosen sudah mempersiapkan segalanya. Buku-buku maupun jurnal-jurnal yang akan dijelaskan di depan kelas sudah tertata rapi di atas meja, slides presentasi pun sudah siap. Dan pada akhirnya jam 8 itu adalah waktu dimana dosen membuka kelas. Jadi saya bisa katakan sangat aneh ketika melihat dosen-dosen ini terlambat walaupun hanya 1 detik. Mahasiswa pun tidak mau kalah, walaupun kadang kelihatan bandel, tapi mereka selalu tepat waktu.
Kedisiplinan mereka juga terlihat ketika di luar kelas. Pernah suatu ketika kami membuat janji untuk mengerjakan tugas jam 9 pagi di salah satu ruang belajar kelompok, dimana saat itu saya datang tepat jam 9 pagi, namun saya melihat mereka sudah duduk rapi di ruang belajar tersebut dengan menghadap ke arah laptop mereka masing-masing. Wow! sampai segitunya kah? itu yang ada dibenak saya waktu itu. Well, ini sebagian nilai yang harus saya contoh dari mereka.
Terlihat serius? Hmm, sebenarnya tidak juga. Sistem perkuliahan bisa dibilang sangat bersahabat. Peraturan kampus mewajibkan setiap 45 menit perkuliahan harus diikuti dengan 15 menit istirahat. Jadi, ketika kuliah berjalan selama 3 jam, akan ada 2x15 menit istirahat. Nah waktu istirahat ini biasanya digunakan mahasiswa untuk bercengkrama dengan teman atau hanya sekedar menghirup udara segar di luar ruangan. Kadang juga ada yang menggunakan kesempatan ini untuk berdiskusi dengan dosen ketika ada materi yang kurang dipahami pada saat perkuliahan sedang berjalan.
Walaupun fasilitas dan sistem perkuliahan sudah sangat mendukung, bahasa Inggris masih menjadi kendala utama saya kuliah disini. Pemahaman saya pada ceramah-ceramah dosen di kelas masih belum maksimal. Ditambah lagi, puluhan referensi berbahasa inggris yang harus dibaca sekaligus menulis esai yang tidak sedikit. Agar bisa memahami pelajaran dengan baik, kadang saya harus membaca jurnal maupun buku dalam dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Maklum jurusan yang saya ambil ini cukup berbeda dengan konsentrasi saya ketika S1 di Indonesia.
Beradaptasi di Negeri Es
Karena letaknya berdekatan dengan kutup utara, Swedia punya suhu musim dingin yang cukup extrim. Di bagian selatan suhunya mencapai -10o C, dan semakin ke utara suhunya semakin dingin bisa mencapai -40o C atau lebih. Berhubung kota tempat saya tinggal letaknya dibagian barat sedikit ke utara, suhu paling extrim sekitar -20o C, itupun hanya beberapa hari, seringnya sampai -10o C saja.
Suhu yang dingin ini bukanlah penghalang untuk bisa beraktifitas, terutama di dalam ruangan, karena memang setiap gedung maupun perumahan sudah didesain untuk menghadapi suhu yang extrim ini. Beraktifitas di luar ruangan juga tidak ada kendala yang berarti, sekali lagi karena jaket yang kita gunakan sudah cukup menghalau dinginnya suhu di luar. Namun yang saya tidak sukai ketika musim dingin adalah waktu siangnya yang hanya sebentar. Jadi hampir 20 jam dalam sehari gelap gulita, sisanya sekitar 5 jam siang harinya, sehingga ini jadi alasan malas beraktifitas di luar rumah, namun bisa lebih produktif di depan komputer. :D
Seperti suhu di negaranya, orang swedia juga cukup dingin loh :D, Bisa dibilang mereka kurang terbuka sama pendatang. Sebagian besar dari mereka kurang banyak bergaul dengan mahasiswa internasional, mungkin karena bahasa juga kali ya. Namun, walaupun dingin, orang-orang swedia cukup ramah dan sangat welcome ketika dimintai pertolongan. Apalagi dosen, kadang saking baiknya, jadi suka merasa gak enak gitu sama mereka.
Merasa asing disini? Tentu saja iya. Setidaknya itu yang saya alami. Orang Indonesia disini terbilang sangat sedikit dibandingkan yang ada di negara-negara Eropa lain seperti Jerman, Perancis, Inggris maupun Belanda. Tapi justru itu yang menjadi daya tarik tersendiri. Saya bisa lebih sering berinteraksi dengan mahasiswa international maupun dengan warga lokal. Komunikasi pun bukan menjadi kendala karena mayoritas penduduknya bisa berbahasa Inggris dengan sangat baik. Selain itu, karena sedikitnya mahasiswa Indonesia di sini, hubungan kita bisa menjadi sangat erat satu sama lain.
Kota ini bisa dibilang sangat aman dan nyaman. Saya bisa pulang pergi kampus 24 jam (asal ada bus) tanpa perlu khawatir dengan keamanan saya. Kasus kriminal hampir tidak ada, mungkin karena gak ada orang miskin juga kali ya. Kehidupan bertetangga pun terbilang nyaman.
Transportasi disini terbilang murah, saya cukup membayar sekitar 600rb/bulan sudah bisa menggunakan bus dan tram di dalam kota sepuasnya. Tidak hanya murah, transportnya pun sangat on-time, dan terjadwal dengan sangat baik. Kalau bus atau tram terlambat sampai 20 menit, kita boleh mengambil taksi dan kemudian meminta ganti rugi ke perusahaan transportasi yang terlambat tersebut. Jadi, tidak ada lagi alasan terlambat karena macet atau nyalahin angkot yang ngetem kayak di Indonesia.
Menjadi Muslim di Swedia
Yang menjadi salah satu kekhawatiran saya yang lain ketika memutuskan untuk kuliah di negara ini adalah menjadi minoritas muslim. Mayoritas penduduk Swedia beragama kristen, ya walaupun sebagian besar dari mereka tidak percaya akan adanya tuhan. Jadi, bisa dikatakan mereka sebenarnya adalah ateis. Hanya ada 5% muslim di negara ini dari total penduduk hampir 10 juta jiwa.
Walaupun ateis, penduduk Swedia diperkenalkan tentang 3 agama besar di dunia - islam, kristen dan yahudi ketika masih di bangku SMA. Jadi mereka cukup terbuka dengan keberadaan agama- agama tersebut. Suatu ketika, saya dan teman kelas berada di suatu kafe, dan mereka semua memesan bir dan mau memesankan juga untuk saya, saya bilang saya mau minum “coke alias Cola” saja, dan mereka bilang “it’s okay”. Sambil mengobrol salah satu teman bilang “kamu gak minum karena alasan agama atau ada alasan lain?” saya bilang, “iya alasan agama”. Teman yang lain bilang “are you a muslim?”,“yes I am” jawab saya. Kemudian dia bilang lagi “Are you Sunni or Syiah?” saya sedikit kaget dengan pertanyaan itu. Kemudian saya tanya lagi “Why?”Dan dengan santai dia jawab “No, because we learned about religions in school”.
Sebagai minoritas muslim, saya tidak terlalu kesulitan mencari makanan halal disini. Ada beberapa supermarket Turki yang menyediakan bahan makanan halal. Informasi tentang “ingredients” dari setiap produk juga tertera dengan jelas tanpa terkecuali. Ketika ke restoran biasanya kita menayakan “do you have halal meat/chicken?”, dan mereka sudah biasa dengan pertanyaan seperti ini. Bagi mereka, konsumen berhak tau semua bahan makanan yang ditambahkan dimakanan kita. Hampir setiap restoran, termasuk di kampus, selalu menyediakan 3 jenis makanan - Daging, vegetarian, maupun ikan. Jadi, tidak ada alasan untuk melahap yang haram ya.
Untuk masalah ibadah sudah pasti tidak semudah di Indonesia. Masjid besar disini hanya satu, dan itu letaknya cukup jauh. Untungnya di kampus ada ruangan kecil yang disediakan untuk musholla yang bisa kami gunakan setiap hari. Selain memang tempat ibadah yang tidak banyak, waktu-waktu shalat pun sering berbenturan dengan waktu kuliah. Jadi, ketika akan shalat, biasanya kami mencuri waktu dengan cara meninggalkan kelas untuk beberapa saat.
Penutup
Banyak pelajaran dan pengalaman yang bisa saya ambil selama tinggal di Negeri Es ini. Dengan kuliah dan tinggal di luar negeri, saya memiliki peluang yang lebih besar untuk bisa berinteraksi dan belajar langsung dengan orang-orang hebat dari berbagai belahan dunia. Hingga ini membuat saya sadar ternyata ilmu yang saya miliki masih terlalu sedikit, sehingga saya semakin termotivasi untuk terus belajar dan belajar lagi.